Jakarta, 05/11/2020 – Indonesia dan berbagai negara di dunia sedang berlomba untuk membuat vaksin yang dapat menangani pandemi Covid-19. Guru besar virologi dan molekuler Universitas Udayana I Gusti Ngurah Mahardika mengajak masyarakat berkenalan dengan empat ragam proses pembuatan vaksin.
“Terkait tahapan-tahapan pembuatan vaksin, tergantung ragamnya. Banyak ragam vaksin. Secara umum ada empat,” papar Mahardika saat berbincang dengan #SatgasCovid19, Selasa (3/11).
Pertama, vaksin berbasis virus murni, dikenal dengan istilah whole virus based atau inactivated vaccine. Dalam jenis pembuatan vaksin yang pertama ini, virus dimatikan atau dibunuh sehingga tidak berbahaya bagi orang.
Kelebihan dari vaksin berbasis virus murni yakni telah umum digunakan sehingga sudah bisa diketahui kualitasnya. Selain itu, antigen komplit dan adjuvan atau substansi yang dimasukkan ke dalam tubuh dapat memicu sistem imun tubuh.
Kedua, lanjut Mahardika, adalah vaksin yang berbasis gen atau DNA, dikenal juga dengan istilah mRNA vaccine. Proses pembuatan vaksin ini relatif cepat dibandingkan dengan ragam-ragam pembuatan vaksin lainnya.
Hanya saja, lanjutnya, vaksin berbasis gen tersebut belum ada yang dipasarkan karena belum dapat dibuktikan dari sisi daya guna dan keamanannya. Hingga saat ini, vaksin berbasis gen baru digunakan kepada binatang, belum untuk manusia.
Begitu juga dengan ragam ketiga, yakni vaksin berbasis vektor adenovirus yang belum dipasarkan. Namun, ujar Mahardika, karakter dari adenovirus vector vaccine tersebut dinilai mampu menstimulasi tubuh sehingga menghasilkan imun yang lebih komplit, lebih kuat dan lebih tahan lama.
“Vaksin berbasis vektor adenovirus ini dimasukkan ke dalam tubuh. Dia tidak membentuk vaksin, tetapi tubuh kita sendiri bisa membuat vaksin, sehingga ini pemberiannya bisa lebih mudah. Bahkan bisa lewat oral divaksinnya,” terangnya.
Hanya saja, lanjutnya, baik vaksin yang berbasis gen maupun vaksin yang berbasis vektor adenovirus belum ada contoh yang telah dipasarkan atau diedarkan di masyarakat. Artinya, metode belum dibuktikan sehingga untuk kedua jenis vaksin tersebut, aspek regulasinya akan cenderung lama.
Sementara itu, ragam pembuatan vaksin yang keempat yakni vaksin sub unit atau berbasis protein. Vaksin yang dibuat melalui proses ini telah dibuktikan khasiatnya karena telah ada contoh-contoh sebelumnya yang beredar di masyarakat. Hingga saat ini, belum ditemukan efek samping dari metode vaksin tersebut. Selain itu, proses pembuatannya juga tergolong cepat.
“Tentu saja semuanya (keempat ragam vaksin) ada kelebihan dan kekurangannya dalam masing-masing. Sekarang tentang bagaimana pengembangan vaksin, itu tergantung ragam yang dipilih. Juga ada faktor waktu,” kata Mahardika.
Mahardika menambahkan bahwa waktu menjadi faktor tambahan yang penting dalam mempertimbangkan pembuatan suatu vaksin. Dia mencontohkan pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung membuat para pembuat vaksin tidak dapat berleha-leha.
“Kalau untuk penyakit biasa barangkali kita bisa berleha-leha, tidak begitu mengejar waktu. Sementara pada saat pandemi, kita ditunggu oleh waktu,” katanya.
Mahardika menyatakan, kendati berkejaran dengan waktu, bukan berarti pembuatan vaksin untuk pandemi akan mengesampingkan keamanan. Dia menegaskan bahwa dalam hal pembuatan vaksin, tidak ada kompromi untuk soal keamanan. Hal yang membedakan proses pembuatan vaksin untuk keperluan menangani pandemi dan yang lainnya yakni di sisi regulasi atau administrasi.
“Apakah vaksinnya sudah lazim kita hadapi atau penyakitnya pandemi seperti sekarang ini. Semuanya tetap sesuai proses (pembuatan) seharusnya, hanya proses regulasinya yang dipercepat. Sehingga untuk pandemi dimungkinkan untuk akselerasi atau dipercepat, sehingga approval-nya lebih cepat,” ujar Mahardika.
Dia menambahkan bahwa yang disebut dengan vaksin pandemi adalah jaminan akses vaksin yang murah, yang baik, dan yang sama rata untuk seluruh penduduk dunia. Hal itu juga yang diupayakan oleh pemerintah Indonesia dengan mengembangkan vaksin untuk mengatasi pandemi Covid-19.
“Untuk vaksin aktif seperti vaksin Sinovac yang diujicobakan di Indonesia, itu memang vaksin yang paling lazim dipakai pada manusia, sehingga regulasi untuk approval-nya atau penerimaannya akan jauh lebih ringkas,” tambahnya.
Sumber: CNNindonesia.com