Jakarta –
Masyarakat Indonesia baru-baru ini mendapat secercah harapan setelah terucap dengan tegas pernyataan Presiden Jokowi saat rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara yang mengatakan bahwa revisi UU ITE harus segera dilaksanakan. Presiden Jokowi dalam pernyataannya menyampaikan bahwa jika UU ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan pada masyarakat karena terdapat pasal karet yang penafsirannya berbeda-beda dan mudah untuk dilakukan interpretasi secara sepihak, maka Presiden bersama DPR akan segera merevisi.
Selain itu, Presiden Jokowi menambahkan bahwa semangat kehadiran UU ITE pada dasarnya adalah untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan produktif. Namun hal tersebut berbanding terbalik karena dalam implementasinya; banyak masyarakat yang saling membuat laporan dengan merujuk kepada UU ITE sehingga sering kali menjadikan proses hukum kurang dalam memenuhi rasa keadilan.
Senada dengan Presiden Jokowi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga menambahkan bahwa penggunaan UU ITE pada masyarakat sudah tidak sehat karena UU ITE selain mengancam kebebasan berekspresi, juga kerap menciptakan polarisasi sehingga memiliki dampak masyarakat menjadi saling lapor menggunakan UU ITE. Hal tersebut bukan tanpa data. Menurut Freedom House, salah satu organisasi pengawas independen untuk demokrasi mencatat bahwa indikator kebebasan sipil di Indonesia turun dari peringkat 34 pada 2018 menjadi 32 pada 2019.
Kemudian Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet dan Amnesty International menunjukkan bahwa kasus kebebasan berekspresi yang berkaitan UU ITE naik dari 74 kasus pada masa periode 2009-2014 menjadi 233 kasus pada masa periode 2014-2019 atau naik lebih dari tiga kali lipat. Sedangkan menurut Manajer Program Lokataru Foundation Mirza Fahmi, UU ITE dapat dikatakan sebagai salah satu sumber penyebab kemunduran demokrasi di Indonesia, sehingga berdampak pada menurunnya indeks demokrasi Indonesia selama 14 tahun terakhir berdasarkan survei dari The Economist Intelligence Unit.
Setidaknya terdapat beberapa kasus yang menggunakan jerat UU ITE dan membekas pada ingatan publik. Seperti kasus Prita Mulyasari soal keluhan pelayanan RS Omni Internasional yang kemudian dijerat menggunakan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Kemudian kasus Baiq Nuril Maknun seorang guru honorer di SMAN 7 Mataram, NTB yang merekam pembicaraan bersama Kepala Sekolah yang dianggap melecehkan dirinya dan dijerat melanggar Pasal 27 Ayat (1) Juncto Pasal 45 ayat (1) UU ITE, dan kasus Dandhy Dwi Laksono yang ditangkap polisi pada 2019 karena me-retweet berkaitan dengan kisruh di Papua dan dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) Juncto Pasal 45A Ayat (2) UU ITE.
Polemik Pasal Karet
Berbagai kasus tersebut menggambarkan bahwa betapa sangat elastisnya pasal karet dalam UU ITE untuk menjerat korbannya. Pasal karet merupakan pasal yang tidak memiliki tolak ukur yang jelas sehingga berpotensi dapat terjadi multitafsir dan berdampak pada ketidakadilan karena hanya ditafsirkan secara sepihak. Menurut SAFEnet terdapat sembilan pasal dalam UU ITE yang merupakan pasal karet.
Kesembilan pasal karet tersebut yakni pertama, Pasal 26 ayat (3) tentang penghapusan informasi yang tidak relevan; pasal ini diyakini bermasalah terkait sensor informasi. Kedua, Pasal 27 ayat (1) tentang asusila; pasal ini diyakini bermasalah karena dalam penerapannya digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online. Ketiga, Pasal 27 ayat (3) tentang defamasi; pasal ini diyakini bermasalah karena dapat digunakan untuk merepresi masyarakat yang mengkritik pemerintah, polisi, atau Presiden. Keempat, Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian; pasal ini diyakini bermasalah karena dapat merepresi agama minoritas di Indonesia serta warga yang menyampaikan kritik kepada pihak polisi dan pemerintah.
Kelima, Pasal 29 tentang ancaman kekerasan; pasal ini diyakini bermasalah lantaran dapat digunakan untuk memidana seseorang yang ingin melapor ke polisi. Keenam, Pasal 36 tentang kerugian; pasal ini diyakini bermasalah karena dapat digunakan untuk memperberat hukum pidana defamasi. Ketujuh, Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang; pasal ini diyakini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan untuk dilakukannya shutdown pada internet untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan informasi yang bersifat hoaks.
Kedelapan, Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses; pasal ini diyakini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran dari pemerintah lebih diutamakan dalam menyelesaikan suatu permasalahan lebih utama dibandingkan putusan pengadilan. Terakhir, Pasal 45 ayat (3) tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi; pasal ini diyakini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menambahkan bahwa pasal-pasal karet yang terdapat dalam UU ITE menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96.8 persen dengan 744 perkara dan tingkat pemenjaraan tinggi mencapai 88%. Selanjutnya, KontraS juga berpesan bahwa dalam menerapkan UU ITE, proses penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan harus diberlakukan sesuai KUHP atas izin dari pengadilan.
Selain hal teknis terkait revisi pasal karet dan izin pengadilan, KontraS juga menambahkan bahwa pengaturan mengenai blocking dan filtering konten internet harus segera direvisi karena besarnya kewenangan pemerintah untuk melakukan filtering internet di media sosial.
Pasal-pasal yang dianggap karet telah banyak memakan korban dan menimbulkan rasa ketidakadilan pada masyarakat. Proses penegakan hukum menjadi semakin sulit karena antara pelapor dan terlapor dapat menggunakan UU ITE untuk melindungi kepentingan pribadi dengan cara melakukan penafsiran pasal karet. Padahal UU ITE secara filosofis lahir untuk melindungi dan memberikan rasa aman kepada seluruh masyarakat Indonesia dalam melakukan kegiatan di dunia maya.
Revisi UU ITE merupakan sebuah keniscayaan untuk dilakukan dengan segera agar masyarakat kembali merasakan dunia maya yang sehat tanpa takut akan ditangkap. Terakhir, saya berharap agar pemerintah dan DPR bergerak cepat dan tepat dalam menyelesaikan revisi UU ITE dan menempatkannya berada di dalam Prolegnas Prioritas 2021. Sehingga diharapkan bahwa setelah revisi UU ITE dilaksanakan, ruang digital masyarakat Indonesia menjadi bersih, sehat, aman, dan dapat dimanfaatkan secara produktif oleh masyarakat Indonesia mulai dari melakukan pekerjaan, bermedia sosial, sampai menyalurkan kritik kepada pemerintah dengan nyaman.
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan sebuah harapan dari salah satu korban pasal karet UU ITE, Baiq Nuril yang mengatakan, “Jangan sampai ada yang menjadi korban seperti saya.” Semoga tidak ada lagi kasus serupa yang terjadi akibat UU ITE, maka jadikanlah dunia maya menjadi dunia sehat dan aman bagi masyarakat.
Elfian Fauzy mahasiswa dan peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Sumber: Detiknews