1. Epidemiolog Beri Syarat Sekolah Tatap Muka Aman dari Covid-19
Epidemiolog Universitas Griffith, Dicky Budiman menyatakan pemerintah harus sangat hati-hati dalam merealisasikan kebijakan sekolah tatap muka di tengah pandemi Covid-19. Dia mengatakan sekolah harus semaksimal mungkin melakukan pencegahan penularan Covid-19.
“Sekolah harus mengadopsi strategi pencegahan semaksimal dan sepraktis mungkin karena pendekatan pengamanan berlapis sangat penting,” ujar Dicky kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/3).
Dicky menuturkan rencana sekolah kembali tatap muka adalah hal yang wajar. Berdasarkan riset global, suatu wilayah dapat mengurangi insiden Covid-19 sambil tetap membuka sekolah untuk pengajaran secara langsung.
Peneliti menemukan bahwa pembelajaran tatap muka tidak meningkatkan tingkat rawat inap Covid-19 ketika tingkat rawat inap awal rendah atau sedang.
Riset juga menemukan adanya hubungan antara insiden Covid-19 dan penularan di lingkungan sekolah, serta tingkat penularan komunitas sehingga menggarisbawahi pentingnya pengendalian Covid-19 di masyarakat untuk melindungi guru, staf, dan siswa di sekolah serta keluarganya.
Namun, dia mengingatkan penularan sekunder yang signifikan dari infeksi SARS-CoV-2 dapat dan memang terjadi di lingkungan sekolah ketika strategi pencegahan tidak diterapkan atau tidak diikuti.
“Ketika wabah terjadi di lingkungan sekolah, maka cenderung terjadi peningkatan penularan di antara guru dan staf sekolah dibanding di antara siswa. Temuan penting kluster sekolah, terjadi akibat strategi pencegahan tidak ditaati – termasuk tidak dikenakannya masker dengan baik dan benar serta ruang kelas yang padat,” ujarnya.
Dicky membeberkan ada sejumlah prinsip dasar sekolah bisa kembali tatap muka. Pertama, sekolah harus menerapkan strategi pencegahan secara ketat dan berlapis. Kemudian, otoritas terkait harus mempertimbangkan indikator penularan komunitas untuk mencerminkan tingkat risiko komunitas.
Ketiga, perlunya strategi pencegahan bertahap berdasarkan tingkat penularan komunitas.
Keempat, keluarga siswa yang berisiko tinggi mengalami penyakit parah, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan perawatan kesehatan khusus atau yang tinggal bersama orang-orang berisiko tinggi harus diberi pilihan pengajaran virtual, terlepas dari mode pembelajaran yang ditawarkan.
“Setiap sekolah didorong untuk menerapkan pengelompokan siswa pada jumlah yang mudah dikelola (10-20 siswa per kelompok), dan bersifat tetap hingga kenaikan kelas. Hal ini untuk memfasilitasi testing, pelacakan kontak, dan untuk meminimalkan penularan antar kelompok,” ujar Dicky.
2. Duduk 2 Meter Hingga Batasi Kunjungan Sekolah
Secara lebih spesifik, Dicky menyarankan jarak duduk antar siswa sekitar 2 meter. Ventilasi ruang belajar juga harus tersedia dengan baik. Seluruh unsur di sekolah harus menggunakan masker dengan benar.
“Program testing untuk mengidentifikasi individu dengan infeksi SARS-CoV-2 dan vaksinasi untuk guru dan staf memberikan lapisan tambahan perlindungan Covid-19 di sekolah,” ujarnya.
Selanjutnya, semua unsur di sekolah harus memahami etika mencuci tangan, batuk, dan bersin. Lalu, membersihkan dan memelihara fasilitas sekolah secara rutin.
Dicky juga menyarankan adanya sistem pelacakan kontak dalam kombinasi dengan isolasi dan karantina, serta monitoring dan evaluasi berkala 2 minggu sekali.
Dicky menambahkan sekolah harus membatasi pengunjung, relawan, dan aktivitas yang tidak penting sebanyak mungkin yang melibatkan kelompok atau organisasi eksternal, terutama dengan orang-orang yang bukan dari area geografis lokal. Misalnya, bukan dari komunitas, kota atau kabupaten yang sama.
“Mewajibkan siapapun untuk memakai masker dan menjaga jarak secara fisik 2 meter dari orang lain,” ujarnya.
Lebih dari itu, dia meminta penghentian belajar tatap muka jika ditemukan dua atau lebih kasus yang secara epidemiologis terkait dengan kasus indeks yang kemungkinan tertular infeksi SARS-CoV-2 di sekolah.
“Untuk mencegah potensi menyebar dengan cepat dan tidak terkendali, penutupan minimal 14 hari,” ujarnya.
Sumber: cnnindonesia