
Jakarta, 30/05/2021 – Lansia menjadi kelompok yang paling berisiko terkena COVID-19. Angka kematian pada lansia usia 60 tahun ke atas akibat COVID-19 bahkan mencapai 49,4%. Persentase tersebut dinilai jadi yang tertinggi di antara kelompok usia lainnya.Menurut Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito, angka kematian kelompok usia 46-59 tahun lebih rendah dibandingkan lansia yakni sebesar 35,5%, usia 31-45 tahun sebesar 11,2%, dan sisanya berasal dari kelompok usia 30 tahun ke bawah.
“Hingga Jumat 28 Mei 2021 angka kematian akibat COVID-19 di Indonesia bertambah 193 orang sehingga total mencapai 50.100 orang,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/5/2021).
“Sebagian besar lansia memiliki komorbid yang dinilainya sangat berpengaruh terhadap kematian lansia karena COVID-19. Apalagi jika komorbidnya tidak terkontrol,” terangnya.
Diungkapkan Masdalina, lansia juga perlu dukungan lebih besar dari luar seperti dengan pemberian obat dan suplemen. Hal ini karena mekanisme pertahanan diri pada lansia yang jauh menurun dibandingkan kelompok usia muda.
“Tentu saja vaksinasi dan protokol kesehatan juga harus jalan,” kata Masdalina.
Kendati demikian, Plt Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Maxi Reni Rondonuwu menilai cakupan vaksinasi lansia masih rendah dan masih banyak lansia yang terhambat untuk divaksin. Adapun salah satu kendalanya yaitu terkait aksesibilitas ke lokasi vaksinasi.
“Dengan fisik yang sudah mulai menurun, lansia perlu tempat vaksinasi yang dekat serta mudah dijangkau,” terangnya.
Sebab, tidak semua sasaran vaksinasi memiliki kondisi sosial maupun ekonomi yang sama. Sebagian dari mereka memiliki rumah yang lokasinya jauh dari tempat vaksinasi. Selain itu, mereka tidak memiliki pendamping, ditambah dengan akses transportasi yang sulit.
Untuk itu, dia mendorong setiap daerah untuk melakukan gerakan secara masif dengan melibatkan stakeholder terkait agar semakin banyak lansia yang divaksinasi. Termasuk menciptakan model baru vaksinasi yang mudah, aman dan nyaman.
“Kami membuat kebijakan, satu pendamping yang membawa dua lansia akan ikut disuntik vaksin. Mudah-mudahan daerah juga akan diimplementasikan. Karena ada 456 Kabupaten/Kota yang cakupan vaksinasi lansia masih di bawah 25%. Saya kira daerah perlu mencontoh DKI Jakarta, yang camat maupun lurah ikut terlibat untuk memobilisasi lansia,” jelasnya.
Di samping kemudahan akses, kepercayaan masyarakat mengikuti vaksinasi disebut menjadi perhatian pemerintah. Sebab, ada kecenderungan masyarakat yang khawatir mengikutsertakan orang tua mereka dalam kegiatan vaksinasi, dengan alasan takut akan keamanan dan efektivitas vaksin.
Lantas bagaimana agar lansia tidak perlu khawatir divaksinasi? Klik halaman selanjutnya
Ketua ITAGI Profesor Dr. Sri Rezeki S Hadinegoro, SpA(K) menekankan agar masyarakat tidak perlu takut dan khawatir. Sebab sejauh ini kelompok lansia justru memiliki Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang sangat rendah. Gejala yang dialami pun bersifat ringan dan mudah diatasi.
“Efek samping kedua vaksin ini (Sinovac dan AstraZeneca) cukup ringan, tidak ada yang masuk RS atau sampai meninggal. KIPI pada lansia ini justru sangat sangat sedikit dibandingkan yang dewasa/muda,” kata Sri.
Sebagai salah satu pihak yang ikut terlibat dalam penentuan jenis vaksin, Sri memastikan vaksin yang disediakan pemerintah tidak hanya aman, tapi juga bermutu dan berkhasiat untuk melindungi seluruh masyarakat.
Hal senada disampaikan Ketua Komnas PP KIPI Profesor Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Sp. A(K), M. TropPaed. Hindra menyebut kesadaran masyarakat lansia cukup baik karena mengetahui masuk dalam kelompok rentan. Namun hambatan justru muncul dari keluarga yang tidak mengizinkan lansia untuk disuntik vaksin.
“Karena ternyata (keluarga) memperoleh informasi yang kurang tepat atau pihak yang tidak berwenang terkait imunisasi atau vaksinasi,” ujarnya.
Sebagai lansia, dia mengaku telah divaksin dua kali. Padahal memiliki riwayat gangguan irama jantung, penderita hipertensi, kolesterol juga sempat tinggi, dan asam urat. “Alhamdulillah sehat, saya sudah dua kali divaksinasi jadi jangan ragu-ragu,” paparnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan komorbid atau penyakit penyerta tidak lantas menghalangi lansia untuk bisa mengikuti vaksinasi. “Jika ada KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) mudah-mudahan sifatnya ringan dan dapat ditolerir namun manfaat vaksinasi jauh lebih besar maka sama-sama kita divaksin,” jelasnya.
Dia juga menjamin, vaksin aman bagi masyarakat. Komnas KIPI pun terus memantau, mengkaji, merekomendasikan apakah vaksin itu aman atau tidak bagi masyarakat. Jika aman, pihaknya akan merekomendasikan vaksin tersebut untuk dipakai dalam program vaksinasi nasional. Dan itu dipantau dan dikaji tiap hari.
“Kalau ada perubahan kita buat rekomendasi baru,” ujarnya.
Dia menambahkan, jika ada laporan terkait KIPI maka ada dua hal yang dilakukan Komnas KIPI. Pertama, mengecek berapa lama ketika diberikan vaksin hingga ada gejala dan kedua apakah ada penyakit lain yang menyebabkan gejala dan bukan berasal dari vaksin.
“Kalau gejala lebih dua hari laporkan saja nanti gejala itu diinvestigasi, dianalisis, dan dikaji. Apapun keluhannya silahkan lapor, kita justru mengharapkan laporan,” pungkasnya.
Sumber: detik.com